Artikel ini merupakan sumbangan Iman Abda, peserta Bincang Buku Jiwa Muda Koleksi Tua, Ulin Bandoeng #1, Baltos, 24/1/2016.
Bincang Buku Tua Bandung
Di Hari minggu itu (24/1/16), sekitar pagi
menjelang siang saya baru sampai Balubur Town Square (Baltos) Bandung untuk
ikut acara Bincang-Bincang Buku dengan topik ‘Jiwa Muda Koleksi Tua. Kisah
orang muda pengumpul buku tua.’ Tema yang menarik sekaligus menggelitik.
Dengan sedikit tersesat, setelah naik
tangga tiga lantai, saya pun sampai di tempat acara, di Kafe Langit-langit
lantai 3 Baltos. Sudah saya duga, pas sampai sudah pembicara kedua, M. Ryzki
Wiryawan, kolektor buku tua dan penulis buku Okultisme di Bandoeng Doeloe. Saya
ketinggalan pembicara pertama, kang Indra JBA ( Jaringan Buku Alternatif).
Ryzki, menuturkan tentang pentingnya buku
tua, selain unik juga untuk bahan studi tertentu, catatan sejarah masa lalu
bisa menjadi referensi untuk keilmuan hari ini. Pernah membantu seorang
mahasiswa untuk menyelesaikan kuliahnya karena syarat dosen pembimbingnya harus
membaca buku tua tersebut, dan buku tersebut ada di saya, itu rasanya bahagia
sekali, ungkapnya.
Setelah menceritakan pengalamannya
bagaimana mencari buku tua, Ryzki memperlihatkan buku koleksinya. Dia
perlihatkan buku kecil seperti stensilan. Buku itu tentang Riwajat Ir Soekarno
yang ditulis dengan bahasa Sunda diterbitan oleh penerbit Dachlan-Bekti tahun
1932. Yang kedua, buku berbahasa Belanda tentang kelompok freemasonry di
Bandung saya lupa judulnya, pokoknya berbahasa Belanda dan ada kata
Naamlijsten.
Buku tentang freemasonry di Bandung juga
buku sumber rujukan bagi Ryzki menulis buku tentang okultisme yang ditulisnya.
Pemandu perbincangan, Deni Rachman, pemilik LawangBuku yang menggagas acara bersama Komunitas Ulin Bandung, mengomentari
bahwa, dokumen sezaman sebagai bagian dari cerita anak zaman dapat menampilkan
informasi otentik tentang kehidupan pada zaman tersebut.
Pembicara ketiga, Dede Brandalan Tjimanoek,
moderator grup Facebook Gila Boekoe Bandung, menceritakan awal minatnya pada
buku tua. Katanya dimulai tahun 2006 mulai tertarik sebagai ‘pengumpul buku tua.’
Katanya juga, kadang yang penting itu bukan semata karena tua-nya buku atau
unik saja tapi karena kita minat pada jenis bukunya.
Dede juga cerita bagaimana memburu
buku-buku pelajaran lama dan buku stensilan. Nah, untuk buku stensilan inilah
dia keluarkan koleksinya yakni Enny Arrow dalam tiga terbitan berbeda.
Menurutnya jarang kolektor buku mengoleksi stensilan.
Bagi generasi yang mengalami membaca Enny
Arrow dengan sembunyi-sembunyi sampai yang terang-terangan mendengar namanya
saja udah senyum simpul. Saya lihat dengan seksama, Deni, sang moderator,
senyumnya lebih mengembang.
Dalam sesi tanya jawab, muncul gagasan
tentang pentingnya membuat database buku tua, ide ini muncul dari kebutuhan
jarangnya informasi keberadaan sebuah buku tua. Selain itu, supaya kalau ada
orang yang membutuhkan mudah mengaksesnya. Minimal orang tahu bahwa ada buku
tersebut dan tahu siapa yang punya atau mengoleksinya.
Gagasan lain muncul tentang mencetak ulang
buku-buku lama tersebut. Dalam aturan tentang hak kekayaan intelektual,
buku-buku di atas 50 tahun boleh dicetak ulang diproduksi ulang dengan bebas.
Kang Rachmat dari penerbit Kiblat, memberi
tanggapan tentang pentingnya buku tua dalam soal sejarah satu kata atau istilah
digunakan. Misal dalam cerita Moh. Ambri, ada satu kata ‘Kimono’ padahal
pengarang hidup sebelum zaman Jepang. Diprediksi bahwa kebudayaan Jepang sudah
dikenal sebelum Jepang menjajah Indonesia.
Perbincangan dalam forum diskusi pun
selesai, dimulailah perbincangan informal. Deni Rahman, mengatakan
bincang-bincang buku edisi perdana ini akan dilanjut pada edisi-edisi
berikutnya. Saya tentu antusias mendengarnya.
Harus diakui dengan banyaknya anak muda
yang suka mengoleksi buku tua akan mendorong hidupnya gairah mencari informasi
primer atau dokumen sezaman. Dengan begitu memperkuat dasar pengetahuan para
intelektual muda.
Di toko buku seperti Lawang, JBA, dll. Buku
tua bisa dijadikan sumber primer misalnya untuk mengetahui tentang Bandung
zaman dulu, atau karya sastra yang ditulis sastrawan senior seperti Pramoedya
Ananta Toer, dll. Atau novel-novel Rusia, atau cersil dan komik silat dan
seterusnya.
Dalam obrolan santai, kata Deni, acara
Bincang-Bincang Buku ini merupakan
program mengawali tahun 2016 antara LawangBuku dan Komunitas Ulin Bandung.
Tujuannya untuk menghidupkan kegiatan komunitas membaca dan diskusi seputar
buku dan sejarah kota Bandung. Saya dukung bung! cag.
*Iman Abda adalah pegiat di Radio Komunitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar